Secara umum istilah teori dalam ilmu sosial mengandung beberapa pengertian sebagai berikut:
- Teori adalah abstraksi dari realitas.
- Teori terdiri dari sekumpulan prinsip-prinsip dan definisi-definisi yang secara konseptual mengorganisasikan aspek-aspek dunia empiris secara sistematis.
- Teori terdiri dari asumsi-asumsi, proposisi-proposisi, dan aksiomaaksioma dasar yang saling berkaitan.
- Teori terdiri dari teorema-teorema, yakni generalisasi-generalisasi yang diterima/ terbukti secara empiris.
Littlejohn dan Foss (2008) menyatakan bahwa teori adalah:
- Teori adalah abstraksi. Teori sifatnya terbatas. Teori tentang Televisi kemungkinan besar tidak dapat dipergunakan untuk menjelaskan hal-hal yang menyangkut Internet.
- Teori merupakan susunan atau himpunan.
- Teori adalah interpretasi tentang sesuatu hal. Semua teori adalah konstruksi pemikiran yang berisikan interpretasi mengenai suatu fenomena ciptaan individual manusia. Oleh sebab itu sifatnya relatif tergantung pada cara pandang si pencipta teori, sifat dan aspek hal yang diamati, serta kondisi-kondisi lain yang mengikat seperti waktu, tempat, dan lingkungan di sekitarnya.
- Teori juga berisikan rekomendasi tentang suatu tindakan yang dapat dilakukan.
Penjelasan dalam teori tidak hanya menyangkut penyebutan nama dan pendefinisian variabel-variabel, tetapi juga mengidentifikasikan keberaturan hubungan di antara variabel. Menurut Littlejohn (1987, 1989, 2002), penjelasan dalam teori berdasarkan pada “prinsip keperluan” (the principle of necessity), yakni suatu penjelasan yang menerangkan variabel-variabel yang kemungkinan diperlukan untuk menghasilkan sesuatu. Contoh: untuk menghasilkan X, barangkali diperlukan adanya Y dan Z.
Selanjutnya, Littlejohn menjelaskan bahwa prinsip keperluan ini ada tiga macam: (1) causal necessity (keperluan kasual), (2) practical necessity (keperluan praktis), (3) logical necessity (keperluan logis). Keperluan kausal berdasarkan asas hubungan sebab akibat. Umpamanya, karena ada Y dan Z maka terjadi X. keperluan praktis menunjuk pada kondisi hubungan “tindakan-konsekuensi”. Kalau menurut prinsip keperluan kausal X terjadi karena Y dan Z maka menurut prinsip penjelasan keperluan praktis Y dan Z memang bertujuan untuk, atau praktis akan, menghasilkan X. Prinsip yang ketiga (“prinsip keperluan logis”) berdasarkan pada azas konsistensi logis. Artinya, Y dan Z secara konsisten dan logis akan selalu menghasilkan X.
Penjelasan dalam teori lebih lanjut juga dapat dibagi dalam dua kategori: penjelasan yang memfokuskan pada orang/pelaku (person centered) dan penjelasan yang memfokuskan pada situasi (situation centered). Penjelasan yang memfokuskan pada orang/pelaku menunjuk pada faktor-faktor internal yang ada dalam diri seseorang (si pelaku). Sementara penjelasan yang memfokuskan pada situasi menunjuk pada faktor-faktor yang ada di luar diri orang tersebut (faktor-faktor eksternal).
Sifat dan tujuan teori, menurut Abraham Kaplan (1964), adalah bukan semata untuk menemukan fakta yang tersembunyi, tetapi juga suatu cara untuk melihat fakta, mengorganisasikan serta mereprentasikan fakta tersebut. Suatu teori harus sesuai dengan dunia ciptaan Tuhan, dalam arti dunia yang sesuai dengan ciri yang dimilikinya sendiri. Dengan demikian, teori yang baik adalah teori yang sesuai dengan realitas kehidupan. Teori yang baik adalah teori yang konseptualisasi dan penjelasannya didukung oleh fakta serta dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Apabila konsep dan penjelasan teori tidak sesuai dengan realitas maka keberlakuannya diragukan dan teori demikian tergolong teori semu.
Teori juga mempunyai fungsi. Menurut Littlejohn, fungsi teori ada 9 (sembilan): (1) mengorganisasikan dan menyimpulkan, (2) memfokuskan,(3) menjelaskan, (4) mengamati, (5) membuat prediksi, (6) heuristic, (7) komunikasi, (8) kontrol/ mengawasi, dan (9) “generatif”.
Fungsi pertama teori adalah mengorganisasikan dan menyimpulkan pengetahuan tentang sesuatu hal. Ini berarti bahwa dalam mengamati realitas kita tidak boleh melakukannya secara sepotong-sepotong. Kita perlu mengorganisasikan dan mensintesiskan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan dunia. Pola-pola dan hubungan-hubungan harus dapat dicari dan ditemukan. Pengetahuan kita tentang pola-pola dan hubungan-hubungan ini kemudian diorganisasikan dan disimpulkan. Hasilnya (berupa teori) akan dapat dipakai sebagai rujukan atau dasar bagi upaya-upaya studi berikutnya.
Fungsi yang kedua adalah memfokuskan. Artinya hal-hal atau aspekaspek dari suatu objek yang diamati harus jelas fokusnya. Teori pada dasarnya hanya menjelaskan tentang suatu hal, bukan banyak hal.
Fungsi yang ketiga adalah menjelaskan. Maksudnya adalah bahwa teori harus mampu membuat suatu penjelasan tentang hal yang diamatinya. Penjelasan ini tidak hanya berguna untuk memahami pola-pola, hubunganhubungan, tetapi juga untuk menginterpretasikan peristiwa-peristiwa tertentu.
Fungsi keempat, pengamatan, menunjukkan bahwa teori tidak saja menjelaskan tentang hal yang sebaiknya diamati, tetapi juga memberikan petunjuk cara mengamatinya. Oleh karena itulah, teori yang baik adalah teori yang berisikan konsep-konsep operasional. Konsep operasional ini penting karena bisa dijadikan sebagai patokan untuk mengamati hal-hal rinci yang berkaitan dengan elaborasi teori.
Fungsi teori yang kelima adalah membuat prediksi. Meskipun, kejadian yang diamati berlaku pada masa lalu, namun berdasarkan data dan hasil pengamatan ini harus dibuat suatu perkiraan tentang keadaan yang bakal terjadi apabila hal-hal yang digambarkan oleh teori juga tercerminkan dalam kehidupan di masa sekarang. Fungsi prediksi ini terutama sekali penting bagi bidang-bidang kajian komunikasi terapan, seperti persuasi dan perubahan sikap, komunikasi dalam organisasi, dinamika kelompok kecil, periklanan,“public relations”, dan media massa.
Fungsi yang keenam adalah fungsi heuristic atau heurisme. Aksioma umum menyebutkan bahwa teori yang baik adalah teori yang mampu merangsang penelitian. Ini berarti bahwa teori yang diciptakan dapat merangsang timbulnya upaya-upaya penelitian selanjutnya. Hal ini dapat terjadi apabila konsep-konsep dan penjelasan-penjelasan teori cukup jelas dan operasional sehingga dapat dijadikan pegangan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Fungsi yang ketujuh, komunikasi, menunjukkan bahwa teori seharusnya tidak menjadi monopoli si penciptanya. Teori harus dipublikasikan, didiskusikan, dan terbuka terhadap kritikan-kritikan. Dengan cara ini maka modifikasi dan upaya penyempurnaan teori akan dapat dilakukan.
Fungsi yang kedelapan, fungsi kontrol, bersifat normatif. Hal ini dikarenakan bahwa asumsi-asumsi teori dapat kemudian berkembang menjadi norma-norma atau nilai-nilai yang dipegang dalam kehidupan seharihari. Dengan kata lain, teori dapat berfungsi sebagai sarana pengendali atau pengontrol tingkah laku kehidupan manusia.
Fungsi teori yang terakhir adalah fungsi “generatif”. Fungsi ini terutama sekali menonjol di kalangan pendukung tradisi/aliran pendekatan interpretatif dan teori kritis. Menurut pandangan aliran ini, teori juga berfungsi sebagai sarana perubahan sosial dan kultural, serta sarana untuk menciptakan pola dan cara kehidupan yang baru.
Proses pengembangan atau pembentukan teori umumnya mengikuti model pendekatan eksperimental yang lazim dipergunakan dalam ilmu pengetahuan alam. Menurut pendekatan ini, biasa disebut hypotheticodeductive method (metode hipotetis-deduktif), proses pengembangan teori melibatkan empat tahap sebagai berikut:
- Developing questions (mengembangkan pertanyaan).
- Forming hypotheses (menyusun hipotesis).
- Testing the hypotheses (menguji hipotesis).
- Formulating theory (memformulasikan teori).
Proses dari keempat tahap pengembangan teori ini, sebagaimana dijelaskan oleh Littlejohn, adalah sebagai berikut.
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa pertama asumsi-asumsi teori dideduksi menjadi hipotesis. Kemudian, hipotesis ini dirinci lagi ke dalam konsepkonsep operasional yang dapat dijadikan sebagai patokan untuk pengamatan/observasi. Berdasarkan hasil-hasil temuan pengamatan yang dilakukan melalui metode dan pengukuran tertentu, kemudian dibuat generalisasi-generalisasi. Dari generalisasi-generalisasi ini akhirnya diinduksi menjadi teori.
Sementara Gambar 1.2 menjelaskan tentang proses pembuatan keputusan yang dapat dipergunakan dalam pengembangan teori. Bagian atas garis-garis terputus menunjukkan dunia abstraksi simbolis, sementara di bagian bawah menunjukkan pengambilan data atau fakta di dunia kehidupan nyata.
Sebagaimana digambarkan proses pengujian dan pengembangan teori (darimodel 1 sampai model 3) dapat melibatkan beberapa kali tahap pengumpulandata, sampai akhirnya kita dapat mengambil keputusan bahwa model teoriyang dihasilkan (model 3) “baik” dalam arti tingkat reliabilitas danvaliditasnya memadai.
Ada beberapa patokan yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi kesahihan teori. Pertama adalah “cakupan teoretis” (theoretical scope). Dengan demikian, persoalan pokok adalah suatu teori yang dibangun memiliki prinsip “generality” atau keberlakuan umum. Patokan kedua adalah “kesesuaian” (appropriateness), yakni apakah isi teori sesuai dengan pertanyaan- pertanyaan/ permasalahan-permasalahan teoretis yang diteliti. Ketiga adalah “heuristic”. Pertanyaannya adalah apakah suatu teori yang dibentuk punya potensi untuk menghasilkan penelitian atau teoriteori lainnya yang berkaitan. Validitas (validity) atau konsistensi internal dan eksternal merupakan patokan yang keempat. Konsistensi internal mempersoalkan konsep dan penjelasan teori konsisten dengan pengamatan.
Sementara itu, konsistensi eksternal mempertanyakan apakah teori yang dibentuk didukung oleh teori-teori lainnya yang telah ada. Patokan kelima adalah parsimony (kesederhanaan). Inti pemikirannya adalah bahwa teori yang baik adalah teori yang berisikan penjelasan-penjelasan yang sederhana.